Proses terjadinya Peristiwa Mei 1998
Kasus-kasus Kerusuhan Mei 1998
a. Demonstrasi Mahasiswa
Pada bulan Januari
1998, aksi-aksi dilakukan oleh berbagai kelompok seperti mahasiswa baik
kelompok Cipayung maupun Non Cipayung, koalisi LSM, Ormas dan kelompok pemuda
dan buruh. Lokasi aksi umumnya adalah kantor instansi pemerintah dan kampus.
Bulan April, jumlah aksi terus bertambah. Bentrok dengan aparat pun mulai
meningkat. Isu politik semakin meningkat. Tuntutan reformasi, anti KKN dan
menurunkan Soeharto semakin gencar. Dukungan masyarakat semakin
bertambah, begitu juga dari kelompok profesional. Pada bulan Mei, aksi
mahasiswa telah semakin meningkat, terlebih setelah pemerintah karena kenaikkan
harga BBM dan terjadinya penembakan di Trisakti yang diikuti oleh kerusuhan di
berbagai kota.
b. Insiden Trisakti
Usai mengikuti
orasi-orasi hingga siang hari mahasiswa mulai bergerak ke luar kampus melalui
jalan S. Parman. Mahasiswa menuntut long march ke Gedung DPR/MPR Senayan untuk
menyampaikan aspirasi mereka. Mereka diblokir oleh dua lapis aparat kepolisian
lengkap dengan tameng dan pentungan di depan Kantor Walikota Jakarta Barat,
mahasiswa di bawah pimpinan Ketua SMUT, Julianto Hendro Cahyono, meminta aparat
mengizinkan mereka ke Senayan dalam aksi damai. Aparat keamanan dari pasukan
Pengendalian Massa menolak tuntutan itu. Sejumlah mahasiswi membagikan bunga
mawar pada aparat sebagai tanda damai.
Ketika rombongan
mahasiswa sedang bergerak kembali ke dalam kampus, terjadi provokasi oleh
seorang yang mengaku alumni Universitas Trisakti yang kemudian diketahui
bernama Mashud. Mahasiswa menuduh Mashud sebagai intel yang mau memprovokasi
mereka dengan cara mengejek dan memancing kemarahan. Mahasiswa sempat
terpancing dan mengejar Mashud yang masuk ke barisan aparat keamanan untuk
meminta perlindungan. Kemudian terjadi dorong-mendorong antara massa dan
pasukan. Selain dikejar, diburu, ditendang dan diinjak oleh aparat keamanan,
korban yang paling banyak berjatuhan adalah korban karena tembakan. Laras
senapan aparat keamanan secara sporadis diarahkan kepada mahasiswa, aparat
keamanan melakukan penembakan membabi buta. Sebagian aparat yang mengambil
posisi di atas jembatan layang mengarahkan tembakan kea rah mahasiswa di dalam
kampus. Dari sinilah banyak berjatuhan korban luka dan meninggal dunia.
c. Penjarahan diberbagai Wilayah
Keusuhan hari pertama ini umumnya terjadi di daerah Jakarta
Barat, di sekitar Jalan KH Hasyim Asyari, lampu merah Roxy, Jalan KH Mochammad
Mansyur, kemudian menyebar menyebar ke Bendungan Hilir Raya, Tanah Abang dan ke
arah Bandara Cengkareng.
Penjarahan dan
kerusuhan dilakukan disiang hari di daerah Grogol dekat kampus Trisakti. Karena
jalan ke arah Grogol banyak diblokir akhirnya massa beralih ke Jalan Daan
Mogot, Pesing, Cengkareng hingga perbatasan Jakarta-Tanggerang. Perusuh membawa
computer, televisi, kulkas dan umumnya barang-barang elektronik. Perusuh yang
lain melampiaskan kemarahan dengan membakar barang-barang yang dikeluarkan ke
jalan-jalan bersama sejumlah mobil dan motor yang tengah parkir. Mobil-mobil di
jalan ke arah Bandara Soekarno Hatta dihentikan dan penumpangnya diperas
perusuh.
Beberapa toko dan
ruko di Jalan Hasyim Asyari habis dijarah dan dibakar massa. Beberapa kantor
bank dilempari batu. Kalangan etnis Tionghoa dan kalangan orang berada
(orang-orang kaya) menjadi sasaran. Di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, massa
telah menjarah pertokoan, toko-toko juga dilempai batu, batu dan benda apa saja
yang tersedia. Gumpalan asap hitam menyelimuti langit kota Jakarta Ketika senja
tiba, sebagian massa mulai meninggalkan jalan dan kembali ke rumah
masing-masing.
d. Pemerkosaan Terhadap Etnis Tionghoa
Berbagai tindakan
akibat sentiment rasial terjadi dalam berbagai bentuk. Mulai dari bentuk
makian, hinaan, hingga dalam bentuk perusakan, penjarahan/perampasan,
pembakaran, dan penganiayaan, pelecehan, pemerkosaan, hingga pembunuhan.
Berbagai bentuk tindakan-tindakan yang disertai ekspresi kebencian atau anti
terhadap etnis tionghoa terjadi pada semua wilayah, khususnya wilayah Jakarta
Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Selatan. Sentiment rasial yang terjadi saat
itu membuat orang-orang dari etnis tionghoa menjadi incaran massa saat itu,
tidak hanya itu pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan terhadap etnis
tionghoa pun membuat para kelompok tersebut merasa terdiskriminasi.
e. Penculikan Aktivis
Menjelang SU-MPR
(1-11 Maret 1998), sebelum Mei 1998, terjadi penculikan terhadap sejumlah
aktivis mahasisswa, LSM, Ormas dan partai antara Februari hingga Maret 1998.
Penculikan diiketahui dilakukan oleh Tim Mawar, tim yang dibentuk oleh Komandan
Batalyon 42, Group IV Kopssus, Mayor Bambang Kristiono atas perintah Letjen Prabowo
Subianto. Tim Mawar mengembangkan perintah Danjen Kopassus dengan menangkap
sembilan orang aktivis. Kasus penculikan tidak dapat dipisahkan dari situasi
keamanan, khususnya di ibukota. Pada faktanya, walaupun nama orang-orang yang
telah diculik berkaitan dengan nama-nama organisasi (KNDP, PRD, PIJAR, ALDERA,
PDI Megawati dan lainnya) yang dianggap bermasalah dan berpeluang membahayakan
keamanan masyarakat dan Negara, sebagian besar dari orang-orang tersebut
diculik setelah SU-MPR selesai dilaksanakan. Oleh karena itu terdapat kesulitan
untuk memastikan bahwa orang-orang yang diculik tersebut hanya berkaitan dengan
pengamanan SU-MPR. Kasus penculikkan menjadi pembicaraan hangat setelah muncul
berbagai aksi demonstrasi dan unjuk rasa. Berbagai pihak, baik sipil dan
militer di dalam negeri memberikan reaksi dan tekanan keras khususnya kepada
pimpinan TNI/POLRI.
Kerusuhan Mei 1998
terjadi dalam bentuk kerusuhan massal yang meliputi berbagai tindakan
pembunuhan, penganiayaan, peusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan orang
secara paksa dan pemerkosaan. Kerusuhan diyakini terkait erat dengan proses
pergeseran elit politik saat itu yang kemudian diikuti mundurnya Presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai momentum kemenangan gerakan
reformasi. Penyelesaiaan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu memiliki makna
strategis sebagai bagian dari proses transisi demokrasi yang harus dilalui oleh
bangsa Indonesia. Hal ini untuk mengegakkan hukum dan HAM, sekaligus memberikan
keadilan kepada para korban dan mencegah terjadinya kejadian serupa di masa
depan dengan cara menghukum para pelaku.
Kerusuhan Mei 1998
nyata-nayata telah mengakibatkan penghancuran, penganiayaan dan melemahkan
kelompok masyarakat sipil. Kerusuhan yang terjadi didorong oleh sekelompok orang
tertentu dan pada banyak lokasi terlihat dengan ciri-ciri tertentu. Kelompok
massa ini dilkenal dengan sebutan provokator. Kelompok ini terlihat terlatih,
terorganisir dan membawa peralatan tertentu yang digunakan untuk merusak atau
membakar. Fakta menunjukan pada 55 lokasi titik terlihat adanya aparat keamanan
di lokasi kerusuhan. Ketidakhadiran aparat di 55 lokasi menunjukkan
ketidakpastian aparat keamanan melakukan pengamanan. Hal ini menunjukan bahwa
tindakan pengamanan yang dilakukan aparat pada lokasi kerusuhan tidak efektif,
karena sebagian besar tindakan yang dilakukan tidak efektif.
Dari banyaknya
kerugian yang dialami dan banyaknya korban menunjukkan bahwa aparat keamanan
tidak efektif mengatasi situasi saat itu, karena tidak terlihatnya aparat dibeberapa
lokasi kerusuhan, bahkan aparat cenderung membantu peristiwa tersebut. Karena
saat terjadinya kerusuhan tidak lepas kendali dari perintah komando, dan telah
ada kebijakan aparat untuk membiarkan kerusuhan terjadi yang menggunakan
fasilitas dan sumber-sumber publik, dengan cara :
a. Tidak mengerahkan pasukan secara
patut sehingga banyak daerah yang tidak diamankan.
b. Pasukan yang ada dilokasi tidak
melakukan tindakan apapun saat kerusuhan terjadi.
c. Pasukan meninggalkan lokasi
kerusuhan.
d. Pasukan tidak bergerak ke lokasi
kerusuhan yang jaraknya relative dekat.
Peristiwa kerusuhan
Mei 1998 tidak dapat dilepaskan dari konteks situasi dan dinamika politik
Indonesia pada waktu itu. Berbagai peristiwa yang terjadi saat itu penculikan
sejumlah aktivis, krisis ekonomi, demonstrasi mahasisswa yang terus-menerus,
serta tewas tertembaknya mahasiswa Trisakti. Tragedi yang terjadi di beberapa
kota secara bersamaan dengan memakan korban jiwa dan harta benda. Tidak
terdapatnya aparat diberbagai lokasi kerusuhan membuat semakin menjadinya
kerusuhan. Masyarakat yang seakan mengamuk membuat semakin karut marut situasi
saat itu. Banyaknya massa membuat sebagian orang memanfaatkan situasi dengan
memprovokasi sehingga membuat massa semakin marah dan merusak semua yang ada di
sekitar lokasi kerusuhan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Djayadi Hanan
selaku expert opinion, yaitu :
Memang ada dugaan
sekelompok orang melakukan provokasi agar demonstrasi besar-besaran mahasiswa
dan masyarakat umum saat itu berubah menjadi kerusuhan. Diduga kuat provokasi
tersebut diorganisir oleh aparat negara, terutama tentara, karena mereka
berkepentingan untuk membuat demonstrasi damai itu menjadi rusuh agar terjadi
kesan bahwa peristiwa tuntutan masyarakat dan mahasiswa bukanlah bersifat
politik tetapi kriminal. Bila kerusuhan terjadi, tentara punya alasan untuk
mengambil alih situasi dan memegang kendali kekuaasaan. Dengan demikian tidak
saja rejim penguasa dapat dipertahankan tetapi tentara/aparat juga menjadi
pemegang kekuasaan politik bila terjadi pergantian kekuasaan saat itu.
Dari banyaknya data
yang didapat dilapangan, dan beberapa nama yang diduga sebagai orang yang
bertanggung jawab atas terjadinya Peristiwa Kerushan Mei 1998. Komnas HAM
membuat laporan dan pemanggilan kepada nama-nama tersebut untuk dilakukan
penyidikan oleh kejaksaan, tetapi kejaksaan belum melakukan penyidikan tersebut
sampai saat ini. Bahkan Komnas HAM pun sudah membut surat rekomendasi kepada
DPR untuk menindak lanjuti kasus Pelanggaran HAM yang berat pada Kerusuhan Mei
1998. Komnas HAM pun sudah membuat surat untuk presiden dan mendesak untuk
segera di selesaikan. Tapi, sampai saat ini belum ada langkah serius pemerintah
untuk menyelesaikannya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Djayadi Hanan
selaku expert opinion, yaitu :
Pemerintah tampak
memiliki keengganan karena aparat yang diduga kuat menjadi penanggungjawab
kasus tersebut masih memiliki kekuasaan atau berhubungan erat dengan jaringan
kekuaasaan di tingkat nasional. Hampir di semua partai politik, sejumlah mantan
tentara memegang peran kunci. Mereka ini tentu akan berusaha melindungi
teman-teman korps mereka dari proses hukum. Karena itu dari segi politik
temuan-temuan dari Komnas HAM kurang mendapat dukungan untuk ditindaklanjuti
secara nyata. Di samping itu, sejumlah nama yang diduga kuat terlibat bahkan
ikut menjadi dalang peristiwa tersebut juga masih memegang kendali kekuasaan
atau memegang jabatan tinggi. Tentu akan sulit untuk memproses secara
sungguh-sungguh peristiwa tersebut karena yang ada dalam lingkaran kekuasaaan
akan terus menghalangi proses pengungkapan dan penyelesaiannya secara
menyeluruh.
C. Dampak
Peristiwa Mei 1998
Peristiwa berdarah
yang terjadi pada tanggal 12-14 Mei 1998 telah membawa luka yang mendalam bagi
seluruh bangsa Indonesia, terutama bagi keluarga yang ditinggalkan. Terlepas
dari kepedihan dan kepiluan akibat kejadian tersebut, namun kiranya ada sisi
lain yang telah menjadi dampak dan membawa bangsa Indonesia jatuh dalam jurang
keterpurukan. Dampaknya bukan hanya dialami dalam bidang ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan militer, akan tetapi juga telah menghancurkan
tatanan kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang sudah mapan. Hancurnya
kemapanan itu ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa
Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998, situasi dan kondisi pun berubah menjadi
semrawut dan serba ketidakpastian dan terkesan tanpa aturan dan arah yang jelas
kemana bangsa ini akan dibawa.
Tapi dengan
lengsernya Soeharto tidak berarti seluruh jajaran Orde Baru bersih dari
pemerintahan. Golkar dengan cerdik mentransformasi diri menjadi Partai Golkar
di bawah pimpinan Ir. Akbar Tandjung dan menghapuskan Dewan Pembina yang selama
ini mengaitkan diri pada mantan Presiden Soeharto dari struktur organisasi.
Demikian juga seluruh jajaran ABRI yang segera mengubah namanya kembali menjadi
TNI dengan paradigm baru. Beberapa tokoh Golkar dan Purnawirawan perwira tinggi
TNI memasuki partai-partai politik lainnya, dan menyatakan dirinya reformis,
malahan ada yang mendirikan partai politik yang baru.
Penghapusan KKN juga
yang menjadi salah satu tuntutan atau agenda mahasiswa pada saat reformasi
ternyata hanya menjadi lip service belaka, bukannya berkurang namun
semakin menjadi-jadi. Baik pihak eksekutif, legislative maupun yudikatif
menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk memperkaya diri sendiri.
Segi sosial
masyarakat juga merasakan dampaknya dengan bertambahnya jumlah pengangguran
setiap bulannya yang mencapai angka lebih dari 40 juta tenaga kerja, yang
membuat rakyat semakin sengsara. Krisis moneter atau ekonomi yang telah
berlangsung bertahun-tahun ditambah inflasi telah membuat rakyat semakin miskin
dan menderita.
Perjudian,
pelacuran, dan kriminalitas berkembang pesat tanpa dapat dikendalikan, karena
mendapatkan perlindungan dari para penguasa, baik dari oknum-oknum Pemda maupun
dari aparat keamanan, polisi dan tentara. Kriminalitas dan aksi-aksi kekerasan
telah menjadi sesuatu hal yang biasa, dan akibat tidak adanya kepercayaan
kepada aparat keamanan, dan kebanyakan rakyat sudah bertindak sendiri dalam
menghakimi para pelaku kejahatan dengan cara-cara yang diluar nalar manusia.
Hukum seakan-akan telah diabaikan karena rakyat sudah tidak percaya kepada
aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun para hakim.
Situasi keamanan di
dalam negeri sangat memprihatinkan. Berbagai konflik horizontal antar etnis dan
agama seperti di Jawa (Situbondo, Pekalongan, Rengasdengklok), Kalimantan Barat
(Sanggau Ledo dan Sambas), Kalimantan Tengah (Sampit), Sulawesi Tengah (Poso),
Maluku (Ambon dan Maluku Utara), Lombok (Mataram), NTT (Kupang), Papua Barat
(Merauke) berlangsung tanpa henti-hentinya (Benny G. Setiono, 2008: 1096).
Menghadapi situasi
seperti ini, sungguh menjadi beban yang sangat berat yang harus dipikul oleh
rakyat Indonesia. Konsep Reformasi yang dipelopori para mahasiswa yang kemudian
diambil alih para elit politik ternyata hanya bertujuan melengserkan Presiden
Soeharto saja, tanpa mereformasi sistem pemerintahannya. Para birokrat di
seluruh jajaran pemerintahan masih tetap para birokrat lama yang didominasi
Golkar dengan paradigma lamanya. Demikian juga dengan seluruh jajaran militer,
walaupun para pemimpin militer menyatakan telah melakukan reformasi dan
mempunyai paradigm baru. Tapi, dalam kenyataannya dalam menyelesaikan masalah,
masih tetap menggunakan cara-cara lama yaitu cara-cara militer yang penuh
kekerasan.
Dampak Negatif
- Agenda reformasi telah ditetapkan melalui berbagai ketetapan MPR dan berbagai produk perundang-udangan yang baru, tetapi setelah berlangsung lebih dari 12 tahun lamanya, terasa bahwa reformasi berjalan secara belum terarah.
- Bila dinilai kembali kepada kondisi sebelum reformasi maka tampak bahwa kekuasaan yang pada wkatu dulu bersifat otoriter, sekarang harus bersifat demoratis, pemerintahan yang terpusat harus menjadi desentralisasi. Pemerintahan yang bersifat tertutup dan penuh larangan serta pengawasan seharusnya lebih terbuka, transparan, serta kebebasan.
- Rasionalitas dan objektivitas telah tersisihkan sehingga muncul egoism, perseorangan maupun kelompok tanpa mengidahan etika, moral, norma, dan hukum yang ada. Politik kekerasanbanyak bermunculan dan berkembang mewarnai kehidupan baru dalam masyarakat sehingga sulit mengatasi maupun kehidupan bermasyarakat bangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hal-hal seperti ini harus segera diatasi dan dihapuskan.
Dampak Positif
- Dampak positif reformasi dapat kita rasakan dan kita saksikan melalui berita-berita media massa, serta surat kabar dan internet maupun pendapat-pendapat pengamat bidangnya. Munculnya suasana baru yang bisa kita saksikan diantaranya terdapatnya kebebasan pers, kebebasan akademis, kebabasan berorganisasi dan lain-lain yang selama ini belum pernah ada, termasuk kebebasan pemikiran dalam memperjuangkan pembebasan tahanan politik maupun narapidana politik, hal ini bisa dinilai sebagai lambang dari suatu kebebasan berpolitik di Indonesia.
- Timbulnya kesadaran baru masyarakat bisa bertindak dan berbuat sesuatu serta melakukan perubahan-perubahan diantaranya pendobrakan atas rasa ketakutan berpolitik, terhadap proses pembodohan yang telah berlangsung hampir lebih dari tiga puluh tahun.
- Memang, sebelum gerakan reformasi dimulai maka semua orang merasakan kelemahan tidak bisa berbuat apa pun tanpa daya dan takut berpolitik, berpendapat, dan berbicara. Namum, dengan pengalaman baru bereformasi, masyarakat Indonesia, khususnya para mahasiswa, mulai sadar dan memiliki serta dapat memperjuangkan politik mereka yang benar-benar dapat membawa ke arah perubahan yang positif, kesadaran baru ini penting sekali artinya dalam rangka perjuangan selanjutnya menuju reformasi yang total dan menyeluruh.
Keuntuhan Hegemoni Orde Baru
Keberhasilan dan
kejayaan yang dicapai oleh Soeharto dengan rezim Orde Barunya nampaknya
mengalami keruntuhan. Keburukan yang dilakukan oleh rezim Soeharto mulai nampak
ke permukaan semenjak rezim ini mengalami kemunduran. Periode 1989-1998
merupakan masa tersulit yang harus dilalui oleh rezim ini. Mulai dari tindakan
pelanggaran HAM, pembungkaman pers, korupsi yang sangat besar, utang luar
negeri yang tinggi, dan krisis ekonomi. Separatisme juga menjadi masalah
tersendiri yang harus dihadapi oleh Soeharto ketika Aceh dengan GAM (Gerakan
Aceh Merdeka)-nya ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Setelah kematian
isterinya pada 1996 kesehatan Soeharto mulai menurun. Dia pernah mendapatkan
perawatan di Jerman. Kurs dan harga di lantai bursa juga mengalami dampak
akibat kesehatan Soeharto yang memburuk tersebut. Indonesia mengalami krisis
ekonomi yang cukup dahsyat. Krisis yang dialami oleh Thailand pada Juli 1997
juga berdampak terhadap negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk
Indonesia. Pada akhir 1997, krisis ekonomi yang dialami Indonesia berakibat
pula terhadap suasana politik Indonesia. Soeharto mengambil langkah dengan
menandatangani perjanjian pemberian utang dengan IMF (International Monetary
Fund).
Beberapa hari
sebelum kejatuhan Soeharto merupakan hari-hari terpanjang yang harus
dilaluinya. Tuntutan reformasi dari rakyat terus menggema. Demonstrasi terjadi
diberbgai daerah. Terjadi sebuah insiden ketika penembak jitu ABRI menembak
empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei. Lebih dari seribu orang tewas
dalam kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada 13-15 Mei. Suasana negeri ini
semakin tidak kondusif.
Soeharto yang kala
itu menghadiri sebuah konferensi di Kairo memutuskan untuk segera kembali ke
tanah air pada 15 Mei 1998. Tiga hari berselang, Harmoko, yang kala itu
menjabat sebagai ketua MPR, secara terang-terangan meminta kepada Soeharto
untuk mengundurkan diri. MPR dan ABRI pun mendukung segera diadakannya sidang
istimewa guna memilih presiden yang baru. Nampaknya usaha yang dilakukan oleh
mahasiswa untuk menggulingkan Soeharto dari kursi kepresidenannya kala itu
telah mendapatkan dukungan dari pejabat tinggi pemerintahan.
Kajatuhan Soeharto
nampaknya tak bisa dihindarkan lagi. Pada 21 Mei pukul sembilan pagi bertempat
di Istana Merdeka, dia menyatakan pengunduran dirinya. Presiden kedua Indonesia
tersebut mengeluarkan pernyataan: “Saya berpandangan bahwa sangat sulit bagi
saya untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan saya. Saya memutuskan untuk
berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia.” B.J. Habibie yang kala itu
menjabat sebagai wakil presiden ditunjuk untuk menggantikannya memegang
pimpinan tertinggi negara ini.
Indonesia mengalami
masa-masa reformasi dibawah presiden baru, B.J. Habibie. Dia mulai menata
kembali kehidupan negeri ini. Ada beberapa hal pokok yang harus dilakukannya.
Masa depan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, ABRI, dan wilayah-wilayah konflik
menjadi fokus yang harus segera ia selesaikan. Sementara itu, masalah
penyelesaian kasus yang dihadapi oleh Soeharto dengan berbagai hal yang telah
dilakukannya berjalan lambat. Hal tersebut memunculkan ketidakpuasan besar
dikalangan pendukung reformasi. Periode rezim Orde Baru hingga kejatuhannya
memang menjadi periode kelam dalam perjalanan negara ini setelah menyatakan
kemerdekaannya. Banyak hal yang telah dilakukan oleh rezim terlama yang pernah
ada di negeri ini guna mempertahankan kekuasaannya tanpa menghiraukan adanya
pihak lain yang berada diluar rezim tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar